“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah
keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang
lain.” (Victor Hugo)
Tidak ada yang bisa menghentikan
waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak
dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.
Ada masa di mana orang terfokus
untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan
(to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua
orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.
Fase pertama, fase to do.
Pada fase ini, orang masih
produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang
kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak
menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh
kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini.
Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah
mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi,
tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat
dengan tali di sebuah tiang.
Nah, kebanyakan dari kita, merasa
sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan
keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia
mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai
orang sibuk.
Tapi, dua tahun berlalu, tapi
bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan.
Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar,
“Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah
bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan
bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
Fase kedua, fase to have.
Pada fase ini,
orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan
mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati
kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan
dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti
bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita
untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari
berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru.
Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru
ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan,
keluarga, kesehatan, maupun spiritual.
Secara psikologis, fase itu tidaklah
buruk. Harga diri dan
rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak
lagi menjadi pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi
direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi
relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini
mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin
meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya…,” katanya.
Fase itu
menjadi pembuktian jati diri kita. Kita
perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum,
semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.
Fase ketiga, fase to be.
Pada fase ini, orang tidak hanya
bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran
diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia
terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri
senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu
dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.
Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang
pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan
para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi
pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena
harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup kita seperti roti. Roti akan
berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John
Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting
yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh
konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia
memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi
kaum papa India.
Nah, di fase manakah hidup kita
sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi
menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!
Sumber
: www.beritaunik.com