slide

Kamis, 28 Januari 2016

Santri Yang Tak Berdengkul_Kisah Menggelikan.

Santri Yang Tak Berdengkul_Kisah Menggelikan

Pendawacenter. Bukan santri namanya kalau tidak punya kisah unik dan kocak.

Diceritakan, disebuah pesantren di daerah Madura ada seorang santri yang cerdas, supel, dan suka humor, sebut saja namanya Jaenal. Jaenal memang paling dikenal oleh teman-temannya juga para guru dan ustadz dipesantren tersebut. Ia cukup terkenal sejak awal masuk kelas wustha (seperti SMP) karena selalu memiliki prestasi yang gemilang. Beberapa kejuaraan lomba baca kitab kuning, ivent-ivent lain ia selalu menjadi yang terdepan menyabet juara.

Meskipun ia terbilang cukup pandai se-pondok lantas tidak membuatnya sombong dan membanggakan diri. Ia selalu berkumpul dengan teman sesama santri dengan sangat akrab, tanpa ada rasa lebih dari yang lain. Namun kemampuannya yang luar biasa untuk santri seusianya, ia dapat menerangkan beberapa kitab secara gamblang. Tidak heran teman-teman sebaya, junior hingga senior banyak menimba ilmu darinya. Ia sudah seperti  Kyai pada umumnya, meskipun ia tidak ingin dipanggil Kyai.

Namun ada satu hal yang unik darinya, ia adalah sosok yang takut dengan wanita.

Rata-rata pesantren salaf sangat menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan. Asrama yang terpisah cukup jauh jaraknya, belum lagi pengawasan yang cukup ketat membuat interaksi laki-laki dan prempuan tidak ada sama sekali. Begitu juga dalam kelas, laki-laki dalam kelas sendiri dan perempuan dengan kelas sendiri.

Hal semacam itu yang terjadi bertahun-tahun lamanya membuat kebanyakan santri putra malu dan tertunduk saat melihat perempuan. Pengaruh psikologi yang tidak terbiasa dengan lawan jenis membuat para santri laki-laki gerogi hebat, gemetar dan ketakutan saat bertemu santriwati. Mungkin ada saja yang tidak demikian, namun jumlahnya bisa dihitung jari.

Pada suatu hari Jaenal sepulang pengajian ba’da shalat subuh berniat kembali ke asrama. Namun ada yang memanggilnya, dan menyampaikan pesan bahwa ia di tunggu seseorang disebuah tempat tidak jauh dari masjid di luar area pondok. Iapun menuju ke sana, melewati jalan yang tidak biasa ia lewati yaitu di samping gedung asrama putri.

Sesampainya di sana, disebuah lorong agak sempit, dari arah berlawanan tak disangka ada segerombolan santriwati (santri perempuan) yang sedang ingin melewati lorong itu juga. Jaenal gugup, gerogi, gemetar tidak karuan. Mau balik sudah terlalu jauh, mau maju gerombolan itu sudah dekat sekali, sedangkan kanan kiri tidak ada jalan lagi. Ia mengendap-endap melewati lorong mepet dengan dinding lorong, tertunduk malu, wajahnya pucat seketika.

Selangkah, dua, tiga langkah gerombolan itu semakin dekat, Jaenal semakin tidak karuan. Matanya masih tertunduk melihat ujung jari kakinya yang sedang melangkah perlahan.
Tak disangka, gerombolan yang berjumlah sekitar 10 orang santriwati itu mencoba menggoda Jaenal, bersiul dan berdehem-dehem sambil cengingisan. Jaenal semakin tidak karuan. Ia merasa kakinya tak berdengkul lagi. Kakinya kaku, tidak bisa ditekukuk. Tempurung kakinya menghilang seketika. Ia berjalan seperti robot, keringat mengucur deras, membasahi pelipis dan bajunya. 

Gerombolan santriwati itupun lewat dalam sekelebat. Jaenal masih tersandar di tembok lorong sambil mengurut-urut kakinya yang masih kaku tak berdengkul itu. Ia bertekat suatu saat nanti tidak ingin melewati lorong ini untuk yang kedua kalinya. Ia takut hal yang sama terjadi padanya bertemu dengan makhluk yang mengerikan itu, yaitu santriwati. Ini merupakan pengalaman yang buruk. Iapun segera kembali ke asrama tanpa menyelesaikan urusannya. Ia sudah hilang mood.